Senin, 27 Mei 2013

Tradisi Lisan : Aktualisasi, Eksistensi, dan Transformasi Hasil Budaya Masa Lampau



Ringkasan :
Indonesia memiliki keanekaragaman budaya. Budaya-budaya yang tersebar di Indonesia adalah hasil kecerdasan masyarakatnya, baik itu adat istiadat, bahasa, kepercayaan, juga tradisi. Tradisi sebagai bagian dari budaya nusantara sudah seharusnya dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat selaku pemiliknya, termasuk tradisi lisan (penuturan). Tradisi lisan mengandung banyak nilai positif yang dapat diterapkan dalam menjalani kehidupan bermasyarakat maupun bernegara. Karena pada hakikatnya, tradisi lisan  hadir di tengah-tengah masyarakat tradisional yang begitu menjaga dan memilihara Indonesia dari berbagai aspek kehidupan. Hal ini terkait dengan adanya pesan moral, kepercayaan, norma yang dipatuhi masyarakat demi keteraturan sistem sosial, serta nilai pendidikan yang dapat dijumpai di dalam tradisi lisan.
—————
Sebagai hasil budaya masa lampau yang ikut membentuk peradaban nusantara, eksistensi tradisi lisan belakangan ini mulai dipertanyakan. Keberadaan tradisi lisan dewasa ini memberikan saya pemahaman untuk mengkaji lebih lanjut mengenai pencitraan kuno terhadap tradisi lisan oleh sebagian besar masyarakat modern Indonesia, juga dalam hal keterbatasan pewarisan tradisi lisan, serta permasalahan mengenai nilai kebenaran pada tradisi lisan terkait dengan aspek ilmu pengetahuan. Untuk menjawab persoalan tersebut, ada beberapa gagasan yang dihadirkan. Diantaranya dengan pengaktualisasian tradisi lisan yang dikemas dalam seni pertunjukan agat lebih memungkinkan untuk dikonsumsi publik tanpa meninggalkan nilai-nilai yang tersirat di dalamnya, selain itu juga menciptakan “formula baru” dengan membuka studi khusus tradisi lisan di perguruan tinggi maupun menjadikannya sebagai ekstrakulikuler di sekolah, serta menggunakan tradisi lisan sebagai sumber pengetahuan melalui “pendekatan historis”.
Indonesia memiliki keanekaragaman budaya. Budaya-budaya yang tersebar di Indonesia adalah hasil kecerdasan masyarakatnya, baik itu adat istiadat, bahasa, kepercayaan, juga tradisi. Tradisi sebagai bagian dari budaya nusantara sudah seharusnya dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat selaku pemiliknya, termasuk tradisi lisan. Sebelum masyarakat Indonesia mengenal tradisi tulis-menulis yang menandai dimulainya periodesasi Sejarah Indonesia Kuno, masyarakat Indonesia telah lebih dulu mengenal tradisi lisan. Masyarakat yang hidup pada masa tradisi lisan di Indonesia dikenal dengan masyarakat pra-aksara. Masyarakat tersebut memiliki kecendrungan dekat dengan alam, sehingga mereka berusaha menyelaraskan pola pikir saat itu dengan lingkungan alamnya. Hal ini memunculkan korelasi yang erat antara peristiwa alam dengan cerita turun-temurun yang termuat dalam mitos, legenda, dongeng, maupun folklore sebagai bagian dari tradisi lisan. Sehingga tradisi lisan dapat dimaknai sebagai gagasan atau aktivitas yang dilakukan secara berkelanjutan, melalui proses “penuturan” dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Tradisi lisan mengandung banyak nilai positif yang dapat diterapkan dalam menjalani kehidupan bermasyarakat ataupun bernegara. Karena pada hakikatnya, tradisi lisan  hadir di tengah-tengah masyarakat tradisional yang begitu menjaga dan memilihara Indonesia dari berbagai aspek kehidupan. Hal ini terkait dengan adanya pesan moral, kepercayaan, norma yang dipatuhi masyarakat demi keteraturan sistem sosial, serta nilai pendidikan yang dapat dijumpai di dalam tradisi lisan. Namun dalam perkembangannya, eksistensi tradisi lisan belakangan ini mulai dipertanyakan. Sebagai hasil budaya masa lampau yang ikut membentuk peradaban nusantara sekaligus menjadi identitas Indonesia, terabainya tradisi lisan sudah sepantasnya menjadi kekhawatiran bersama. Keberadaan tradisi lisan dewasa ini memberikan saya pemahaman untuk mengkaji lebih lanjut mengenai pencitraan kuno terhadap tradisi lisan oleh sebagian besar masyarakat modern Indonesia, juga dalam hal keterbatasan pewarisan tradisi lisan, serta permasalahan mengenai nilai kebenaran pada tradisi lisan terkait dengan aspek ilmu pengetahuan.
Iklim globalisasi masuk ke Indonesia membawa pengaruh besar bagi terciptanya masyarakat modern Indonesia. Hal ini turut mempengaruhi perkembangan cara berpikir masyarakat. Lambat laun masyarakat tradisional mulai bertransformasi menjadi masyarakat modern. Dimana segala sesuatu yang dilakukan masyarakat modern Indonesia mulai mengikuti pola kebudayaan barat. Misalnya menjaring ikan menggunakan pukat harimau, cara hidup berbasis teknologi ini lebih mengedepankan nilai keefektivitasan serta keefisiensian, tanpa menimbang dampak jangka panjang bagi lingkungan hidup. Perilaku masyarakat modern tersebut menjadi salah satu penyebab menurunnya kesadaran akan identitas masyarakat Indonesia, dimana masyarakat modern mulai meninggalkan budaya lokal pesisir yang menggunakan syair lagu untuk memanggil ikan tangkapan. Menurunnya kesadaran identitas yang dimaksud, berupa cara berpikir dan berperilaku layaknya orang Indonesia yang senantiasa menjaga serta memelihara budaya lokal demi keselarasan masyarakat dengan lingkungan alamnya, seperti yang tersirat dalam tradisi lisan. Dewasa ini, sebagian besar masyarakat Indonesia mulai berpikir bahwa budaya lokal merupakan budaya yang tidak mengikuti perkembangan zaman. Oleh karena itu, tradisi lisan mulai ditinggalkan sehingga  budaya lokal yang satu ini terancam hilang dari peradaban nusantara.
Namun, anggapan yang menilai tradisi lisan tidak mampu bergerak secara dinamis merupakan suatu kebohongan besar, mengingat hakikat tradisi adalah mengalami perkembangan yang disesuaikan dengan jiwa zaman masyarakatnya. Bukan tidak mungkin tradisi lisan yang terkesan kuno tersebut dikemas dengan lebih aktual mengikuti jiwa zaman saat ini. Cerita rakyat, upacara, pantun, tarian rakyat, mantra, serta nyanyian rakyat dapat dikombinasikan dan kemudian dikemas dalam seni pertunjukan lokal secara berkala. Aktualisasi tradisi lisan yang dikemas dalam sebuah pertunjukan lebih memungkinkan untuk dikonsumsi publik tanpa meninggalkan nilai-nilai yang tersirat di dalamnya. Terkhusus lagi, dapat membuka ruang antusias yang tinggi terhadap tradisi lisan dikalangan generasi muda Indonesia. Sehingga kegiatan ini dapat menghidupakan kembali “penuturan” yang dilakukan secara turun-temurun di tengah masyarakat modern Indonesia.
Seiring dengan pengaktualisasian tradisi lisan dalam rangka menyelamatkan produk budaya masa lampau, masalah lain yang muncul terkait dengan eksistensi tradisi lisan adalah belum tersedianya generasi yang siap berkomitmen melestarikan tradisi lisan, pasca dikenalnya aksara yang mendukung terciptanya tradisi tulis-menulis. Berkembangnya tradisi tulis-menulis sejak ditemukannya prasasti di Kerajaan Kutai sekitar abad ke-4 Masehi, ternyata membawa pengaruh besar bagi keberlangsungan tradisi lisan. Hingga sekarang, disiplin ilmu yang berkembang di Indonesia cendrung mengandalkan sumber tertulis daripada menggunakan tradisi lisan sebagai sumber pengetahuan. Oleh karena itu, perlu adanya “formula baru” untuk menghasilkan sumber daya manusia yang dibekali dengan kemampuan khusus mempelajari tradisi lisan, sekaligus sebagai upaya mempersiapkan generasi pelopor pelestarian tradisi lisan. “Formula baru” tersebut dapat diwujudkan dengan mengikutsertakan tradisi lisan ke dalam lingkungan pendidikan, baik itu membuka studi khusus tradisi lisan di perguruan tinggi maupun menjadikannya sebagai ekstrakulikuler di sekolah. Dengan begitu, tradisi lisan mulai dikenal di dunia akademis, sehingga keberadaan tradisi lisan bisa lebih diperkuat dengan mendapatkan perhatian khusus dari kalangan akademisi.
Terakit displin ilmu di Indonesia yang cendrung menggunakan sumber tertulis, hal ini memunculkan polemik tersendiri bagi posisi tradisi lisan yang juga sebagai sumber pengetahuan. Kondisi tersebut tidak dapat dilepaskan dari adanya keraguan terhadap kebenaran informasi yang terkandung dalam tradisi “penuturan” ini. Tradisi lisan berupa dongeng, hikayat, mantra, dan legenda lebih didominasi unsur “fantasi” dalam cerita, sehingga tidak mudah membedakan antara fakta dan fiksi yang sebenarnya. Pada hakikatnya, masyarakat pra-aksara belum mampu mendefinisikan suatu peristiwa berdasarkan kajian ilmu pengetahuan. Sehingga cerita-cerita yang berkembang melalui “penuturan” senantiasa disesuaikan dengan kemampuan berpikir, kebutuhan, dan kondisi masyarakat saat itu. Masyarakat pra-aksara berusaha menyalurkan norma, nilai, hukum, kebiasaan, dan pengetahuan yang berkembang saat itu melalui “penuturan” secara turun-temurun. Hal ini didasari pada tingkat pengalaman dan pemahaman yang mereka dapati. Oleh karena itu tidak sedikit ilmuwan berpendapat, bahwa tradisi lisan telah mengalami proses pewarisan dalam waktu yang panjang sehingga tradisi lisan dimungkinkan mengalami distorsi. Alhasil, nilai kebenaran dalam tradisi lisan lantas dipertanyakan.
Melalui kaca mata yang berbeda, saya mencoba untuk membalikan kenyataan. Kenapa tidak tradisi lisan digunakan sebagai sumber pengetahuan, jika kita mampu menjadikan ritual Hamis Batar (tradisi lisan masyarakat Timor berupa upacara syukuran terhadap jagung yang dipanen) di Kupang sebagai media untuk memperoleh pengetahuan yang mendekati nilai kebenaran, seperti mengkaji kepercayaan masyarakat setempat terhadap kekuatan di luar diri manusia, tentang fungsi tetua adat sebagai bagian dari sistem sosial yang mengambil peran dalam ritual Hamis Batar, juga kebiasaan masyarakat mempersiapkan jagung yang memiliki kualitas terbaik dari hasil panen untuk diikutsertakan dalam upacara adat, serta eksistensi nilai dan norma yang ikut diwariskan secara turun-temurun melalui ritual Hamis Batar. Dengan melakukan “pendekatan historis” untuk mendapatkan pengetahuan dari tradisi lisan, kita bisa menemukan pondasi kebudayaan Indonesia, sekaligus dapat digunakan untuk memantapkan identitas kebudayaan nusantara dalam rangka menjawab tantangan zaman.
Tradisi “penuturan” merupakan akar dari budaya yang berkembang di nusantara. Hal ini dapat diasumsikan melalui masyarakat pra-aksara yang menggunakan tradisi lisan untuk menyalurkan cara berpikir dan cara hidup antar sesama manusia, termasuk aktivitas yang berhubungan dengan alam dan sang pencipta. Sehingga, hadirnya tradisi lisan ternyata ikut mendukung lahirnya adat istiadat, kebiasaan, hukum, kepercayaan, maupun bahasa yang berkembang di wilayah-wilayah Indonesia. Seiring dengan perkembanan zaman, tradisi lisan mulai ditinggalkan karena pencitraannya yang kuno dan statis sebagai hasil budaya masa lampau. Hal ini tidak terlepas dari tradisi tulis-menulis yang mulai dikenal, serta adanya pengaruh globalisasi yang serta-merta ikut merubah cara berpikir masyarakat Indonesia. Sehubungan dengan upaya penyelamatan dan pelestarian terhadap akar budaya nusantara, maka diperlukan usaha-usaha membangkitkan ketertarikan kembali terhadap tradisi “penuturan” ini. Usaha-usaha tersebut diantaranya, melakukan aktualisasi tradisi lisan yang dikemas dalam seni pertunjukan, mengikutsertakan tradisi lisan dalam dunia akademis sebagai upaya pengenalan sekaligus melahirkan generasi pewaris tradisi “penuturan”, serta menjadikan tradisi lisan sebagai sumber pengetahuan yang dapat dikaji melalui metode ilmiah dan pendekatan displin ilmu sosial, seperti pendekatan historis. Diharapkan tradisi lisan dapat diselamatkan dan dilestarikan keberadaannya ditengah-tengah iklim globalisasi. Sehingga, masyarakat Indonesia memiliki identitas kebudayaan yang kuat agar dapat digunakan sebagai pedoman dalam rangka menyikapi budaya-budaya asing yang masuk ke Indonesia.

Rabu, 15 Mei 2013

Ragam Bahasa


Yang dimaksud dengan ragam atau variasi bahasa adalah bentuk atau wujud bahasa yang ditandai oleh ciri-ciri linguistik tertentu, seperti fonologi, morfologi, dan sintaksis. Di samping ditandai oleh cirri-ciri linguistik, timbulnya ragam bahasa juga ditandai oleh cirri-ciri nonlinguistic, misalnya, lokasi atau tempat penggunaannya, lingkungan sosial pemakaiannya, dan lingkungan keprofesian pemakai bahasa yang bersangkutan.
Berdasarkan pokok pembicaraan, ragam bahasa dibedakan antara lain atas:
  • Ragam bahasa undang-undang
  • Ragam bahasa jurnalistik
  • Ragam bahasa ilmiah
  • Ragam bahasa sastra
Berdasarkan media pembicaraan, ragam bahasa dibedakan atas:
1.     Ragam Lisan
Ragam bahasa lisan adalah bahan yang dihasilkan alat ucap (organ of speech) dengan fonem sebagai unsur dasar. Dalam ragam lisan, kita berurusan dengan tata bahasa, kosakata, dan lafal. Dalam ragam bahasa lisan ini, pembicara dapat memanfaatkan tinggi rendah suara atau tekanan, air muka, gerak tangan atau isyarat untuk mengungkapkan ide. Contoh ragam lisan antara lain meliputi:
  • Ragam bahasa cakapan
  • Ragam bahasa pidato
  • Ragam bahasa kuliah
  • Ragam bahasa panggung
Ciri-ciri ragam bahasa lisan :
a.    Memerlukan kehadiran orang lain
b.    Unsur gramatikal tidak dinyatakan secara lengkap
c.    Terikat ruang dan waktu
d.    Dipengaruhi oleh tinggi rendahnya suara
Kelebihan ragam bahasa lisan :
a.    Dapat disesuaikan dengan situasi.
b.    Faktor efisiensi.
c.    Faktor kejelasan karena pembicara menambahkan unsure lain berupa tekan dan gerak anggota badan agah pendengar mengerti apa yang dikatakan seperti situasi, mimik dan gerak-gerak pembicara.
d.    Faktor kecepatan, pembicara segera melihat reaksi pendengar terhadap apa yang dibicarakannya.
e.    Lebih bebas bentuknya karena faktor situasi yang memperjelas pengertian bahasa yang dituturkan oleh penutur.
f.     Penggunaan bahasa lisan bisa berdasarkan pengetahuan dan penafsiran dari informasi audit, visual dan kognitif.
Kelemahan ragam bahasa lisan :
a.    Bahasa lisan berisi beberapa kalimat yang tidak lengkap, bahkan terdapat frase-frase sederhana.
b.    Penutur sering mengulangi beberapa kalimat.
c.    Tidak semua orang bisa melakukan bahasa lisan.
d.    Aturan-aturan bahasa yang dilakukan tidak formal.
2.     Ragam Tulis
Ragam bahasa tulis adalah bahasa yang dihasilkan dengan memanfaatkan tulisan dengan huruf sebagai unsur dasarnya. Dalam ragam tulis, kita berurusan dengan tata cara penulisan (ejaan) di samping aspek tata bahasa dan kosa kata. Dengan kata lain dalam ragam bahasa tulis, kita dituntut adanya kelengkapan unsur tata bahasa seperti bentuk kata ataupun susunan kalimat, ketepatan pilihan kata, kebenaran penggunaan ejaan, dan penggunaan tanda baca dalam mengungkapkan ide. Contoh ragam lisan antara lain meliputi:
  • Ragam bahasa teknis
  • Ragam bahasa undang-undang
  • Ragam bahasa catatan
  • Ragam bahasa surat
Ciri-ciri ragam bahasa tulis :
a.    Tidak memerlukan kehaduran orang lain.
b.    Unsur gramatikal dinyatakan secara lengkap.
c.    Tidak terikat ruang dan waktu
d.    Dipengaruhi oleh tanda baca atau ejaan.
Kelebihan ragam bahasa tulis :
a.    Informasi yang disajikan bisa dipilih untuk dikemas sebagai media atau materi yang menarik dan menyenangkan.
b.    Umumnya memiliki kedekatan budaya dengan kehidupan masyarakat.
c.    Sebagai sarana memperkaya kosakata.
d.    Dapat digunakan untuk menyampaikan maksud, membeberkan informasi atau mengungkap unsur-unsur emosi sehingga mampu mencanggihkan wawasan pembaca.
Kelemahan ragam bahasa tulis :
a.    Alat atau sarana yang memperjelas pengertian seperti bahasa lisan itu tidak ada akibatnya bahasa tulisan harus disusun lebih sempurna.
b.    Tidak mampu menyajikan berita secara lugas, jernih dan jujur, jika harus mengikuti kaidah-kaidah bahasa yang dianggap cenderung miskin daya pikat dan nilai jual.
c.    Yang tidak ada dalam bahasa tulisan tidak dapat diperjelas/ditolong, oleh karena itu dalam bahasa tulisan diperlukan keseksamaan yang lebih besar.
Ragam bahasa menurut hubungan antarpembiacra dibedakan menurut akrab tidaknya pembicara
  • Ragam bahasa resmi
  • Ragam bahasa akrab
  • Ragam bahasa agak resmi
  • Ragam bahasa santai
  • dan sebagainya
Ragam Bahasa Berdasarkan Penutur
  1. Ragam bahasa berdasarkan daerah disebut ragam daerah (logat/dialek). 
Luasnya pemakaian bahasa dapat menimbulkan perbedaan pemakaian bahasa. Bahasa Indonesia yang digunakan oleh orang yang tinggal di Jakarta berbeda dengan bahasa Indonesia yang digunakan di Jawa Tengah, Bali, Jayapura, dan Tapanuli. Masing-masing memilikiciri khas yang berbeda-beda. Misalnya logat bahasa Indonesia orang Jawa Tengah tampak padapelafalan/b/pada posisiawal saat melafalkan nama-nama kota seperti Bogor, Bandung, Banyuwangi, dll. Logat bahasa Indonesia orang Bali tampak pada pelafalan /t/ seperti pada kata ithu, kitha, canthik, dll.
  1. Ragam bahasa berdasarkan pendidikan penutur. 
Bahasa Indonesia yang digunakan oleh kelompok penutur yang berpendidikan berbeda dengan yang tidak berpendidikan, terutama dalam pelafalan kata yang berasal dari bahasa asing, misalnya fitnah, kompleks,vitamin, video, film, fakultas. Penutur yang tidak berpendidikan mungkin akan mengucapkan pitnah, komplek, pitamin, pideo, pilm, pakultas. Perbedaan ini juga terjadi dalam bidang tata bahasa, misalnya mbawa seharusnya membawa, nyari seharusnya mencari. Selain itu bentuk kata dalam kalimat pun sering menanggalkan awalan yang seharusnya dipakai.
contoh:
1) Ira mau nulis surat à Ira mau menulis surat
2) Saya akan ceritakan tentang Kancil à Saya akan menceritakan tentang Kancil.
  1. Ragam bahasa berdasarkan sikap penutur. Ragam bahasa dipengaruhi juga oleh setiap penutur terhadap kawan bicara (jika lisan) atau sikap penulis terhadap pembawa (jika dituliskan) sikap itu antara lain resmi, akrab, dan santai. Kedudukan kawan bicara atau pembaca terhadap penutur atau penulis juga mempengaruhi sikap tersebut. Misalnya, kita dapat mengamati bahasa seorang bawahan atau petugas ketika melapor kepada atasannya. Jika terdapat jarak antara penutur dan kawan bicara atau penulis dan pembaca, akan digunakan ragam bahasa resmi atau bahasa baku. Makin formal jarak penutur dan kawan bicara akan makin resmi dan makin tinggi tingkat kebakuan bahasa yang digunakan. Sebaliknya, makin rendah tingkat keformalannya, makin rendah pula tingkat kebakuan bahasa yang digunakan.

Macam-macam Kebudayaan Di Indonesia


Budaya Indonesia adalah seluruh kebudayaan nasional, kebudayaan lokal, maupun kebudayaan asal luar negeri yang telah ada di Indonesia sebelum Indonesia merdeka pada tahun 1945.

Kebudayaan nasional
Kebudayaan nasional secara mudah dimengerti sebagai kebudayaan yang diakui sebagai identitas nasional. Definisi kebudayaan nasional menurut TAP MPR No.II tahun 1998, yakni:
Kebudayaan nasional yang berlandaskan Pancasila adalah perwujudan cipta, karya dan karsa bangsa Indonesia dan merupakan keseluruhan daya upaya manusia Indonesia untuk mengembangkan harkat dan martabat sebagai bangsa, serta diarahkan untuk memberikan wawasan dan makna pada pembangunan nasional dalam segenap bidang kehidupan bangsa. Dengan demikian Pembangunan Nasional merupakan pembangunan yang berbudaya. 
Disebutkan juga pada pasal selanjutnya bahwa kebudayaan nasional juga mencermikan nilai-nilai luhur bangsa. Tampaklah bahwa batasan kebudayaan nasional yang dirumuskan oleh pemerintah berorientasi pada pembangunan nasional yang dilandasi oleh semangat Pancasila.
Kebudayaan nasional dalam pandangan Ki Hajar Dewantara adalah “puncak-puncak dari kebudayaan daerah”. Kutipan pernyataan ini merujuk pada paham kesatuan makin dimantapkan, sehingga ketunggalikaan makin lebih dirasakan daripada kebhinekaan. Wujudnya berupa negara kesatuan, ekonomi nasional, hukum nasional, serta bahasa nasional. Definisi yang diberikan oleh Koentjaraningrat dapat dilihat dari peryataannya: “yang khas dan bermutu dari suku bangsa mana pun asalnya, asal bisa mengidentifikasikan diri dan menimbulkan rasa bangga, itulah kebudayaan nasional”. Pernyataan ini merujuk pada puncak-puncak kebudayaan daerah dan kebudayaan suku bangsa yang bisa menimbulkan rasa bangga bagi orang Indonesia jika ditampilkan untuk mewakili identitas bersama.
Pernyataan yang tertera pada GBHN tersebut merupakan penjabaran dari UUD 1945 Pasal 32. Dewasa ini tokoh-tokoh kebudayaan Indonesia sedang mempersoalkan eksistensi kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional terkait dihapuskannya tiga kalimat penjelasan pada pasal 32 dan munculnya ayat yang baru. Mereka mempersoalkan adanya kemungkinan perpecahan oleh kebudayaan daerah jika batasan mengenai kebudayaan nasional tidak dijelaskan secara gamblang.
Sebelum di amandemen, UUD 1945 menggunakan dua istilah untuk mengidentifikasi kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional. Kebudayaan bangsa, ialah kebudayaan-kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagi puncak-puncak di daerah-daerah di seluruh Indonesia, sedangkan kebudayaan nasional sendiri dipahami sebagai kebudayaan angsa yang sudah berada pada posisi yang memiliki makna bagi seluruh bangsa Indonesia. Dalam kebudayaan nasional terdapat unsur pemersatu dari Banga Indonesia yang sudah sadar dan menglami persebaran secara nasional. Di dalamnya terdapat unsur kebudayaan bangsa dan unsur kebudayaan luar negeri, serta unsur kreasi baru atau hasil invensi nasional.
Kebudayaan daerah
Seluruh kebudayaan daerah yang berasal dari kebudayaan beraneka ragam suku-suku di Indonesia merupakan bagian integral daripada kebudayaan Indonesia.
Kebudayaan Indonesia walau beraneka ragam, namun pada dasarnya terbentuk dan dipengaruhi oleh kebudayaan besar lainnya seperti kebudayaan Tionghoa, kebudayaan India dan kebudayaan Arab. Kebudayaan India terutama masuk dari penyebaran agama Hindu dan Buddha di Nusantara jauh sebelum Indonesia terbentuk. Kerajaan-kerajaan yang bernafaskan agama Hindu dan Budha sempat mendominasi Nusantara pada abad ke-5 Masehi ditandai dengan berdirinya kerajaan tertua di Nusantara, Kutai, sampai pada penghujung abad ke-15 Masehi.
Kebudayaan Tionghoa masuk dan mempengaruhi kebudayaan Indonesia karena interaksi perdagangan yang intensif antara pedagang-pedagang Tionghoa dan Nusantara (Sriwijaya). Selain itu, banyak pula yang masuk bersama perantau-perantau Tionghoa yang datang dari daerah selatan Tiongkok dan menetap di Nusantara. Mereka menetap dan menikahi penduduk lokal menghasilkan perpaduan kebudayaan Tionghoa dan lokal yang unik. Kebudayaan seperti inilah yang kemudian menjadi salah satu akar daripada kebudayaan lokal modern di Indonesia semisal kebudayaan Jawa dan Betawi.
Kebudayaan Arab masuk bersama dengan penyebaran agama Islam oleh pedagang-pedagang Arab yang singgah di Nusantara dalam perjalanan mereka menuju Tiongkok.
Kedatangan penjelajah dari Eropa sejak abad ke-16 ke Nusantara, dan penjajahan yang berlangsung selanjutnya, membawa berbagai bentuk kebudayaan Barat dan membentuk kebudayaan Indonesia modern sebagaimana yang dapat dijumpai sekarang. Teknologi, sistem organisasi dan politik, sistem sosial, berbagai elemen budaya seperti boga, busana, perekonomian, dan sebagainya, banyak mengadopsi kebudayaan Barat yang lambat-laun terintegrasi dalam masyarakat.
Wujud kebudayaan daerah di Indonesia
Kebudayaan daerah tercermin dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat di seluruh daerah di Indonesia. Setiap saerah memilki ciri khas kebudayaan yang berbeda.
Rumah adat

  • Sumatera Barat : Rumah Gadang
  • Sumatera Selatan : Rumah Limas
  • Jawa : Joglo
  • Papua : Honai
  • Sulawesi Selatan : Tongkonang (Tana Toraja), Bola Soba (Bugis Bone), Balla Lompoa (Makassar Gowa)
  • Sulawesi Tenggara: Istana buton
  • Sulawesi Utara: Rumah Panggung
  • Kalimantan Barat: Rumah Betang
  • Nusa Tenggara Timur: Lopo

Tarian

  • Jawa: Bedaya, Kuda Lumping, Reog.
  • Bali: Kecak, Barong/ Barongan, Pendet.
  • Maluku: Cakalele, Orlapei, Katreji
  • Aceh: Saman, Seudati.
  • Minangkabau: Tari Piring, Tari Payung, Tari Indang, Tari Randai, Tari Lilin
  • Betawi: Yapong
  • Sunda: Jaipong, Reog, Tari Topeng
  • Timor NTT: Likurai, Bidu, Tebe, Bonet, Pado'a, Rokatenda, Caci
  • Batak Toba & Suku Simalungun: Tortor
  • Sulawesi Selatan: Tari Pakkarena, Tarian Anging Mamiri, Tari Padduppa, Tari 4 Etnis
  • Pesisir Sibolga/Tapteng: Tari Sapu Tangan , Tari Adok , Tari Anak , Tari Pahlawan , Tari Lagu Duo , Tari Perak , Tari Payung .
  • Riau : ( Persembahan, Zapin, Rentak bulian, Serampang dua Belas )
  • lampung : ( bedana, sembah, tayuhan, sigegh, labu kayu )
  • irian jaya:

Lagu

  • Jakarta: Kicir-kicir, Jali-jali, Lenggang Kangkung.
  • Maluku : Rasa Sayang-sayange, Ayo Mama
  • Melayu : Soleram, Tanjung Katung
  • Minangkabau : Kampuang nan Jauh di Mato, Kambanglah Bungo, Indang Sungai Garinggiang
  • Aceh : Bungong Jeumpa
  • Ampar-Ampar Pisang (Kalimantan Selatan)
  • Anak Kambing Saya (Nusa Tenggara Timur)
  • Oras Loro Malirin, Sonbilo, Tebe Onana, Ofalangga, Do Hawu, Bolelebo, Lewo Ro Piring Sina, Bengu Re Le Kaju, Aku Retang, Gaila Ruma Radha Nusa Tenggara Timur
  • Angin Mamiri (Sulawesi Selatan)
  • Anju Ahu (Sumatera Utara)
  • Apuse (Papua)
  • Ayam Den Lapeh (Sumatera Barat)
  • Barek Solok (Sumatera Barat)
  • Batanghari (Jambi)
  • Bubuy Bulan (Jawa Barat)
  • Buka Pintu (Maluku)
  • Bungo Bangso (Sumatera Utara)
  • Bungong Jeumpa (Aceh)
  • Burung Tantina (Maluku)
  • Butet (Sumatera Utara)
  • Cik-Cik Periuk (Kalimantan Barat)
  • Cikala Le Pongpong (Sumatera Utara)
  • Cing Cangkeling (Jawa Barat)
  • Cuk Mak Ilang (Sumatera Selatan)
  • Dago Inang Sarge (Sumatera Utara)
  • Dayung Palinggam (Sumatera Barat)
  • Dayung Sampan (Banten)
  • Dek Sangke (Sumatera Selatan)
  • Desaku (Nusa Tenggara Timur)
  • Esa Mokan (Sulawesi Utara)
  • Es Lilin (Jawa Barat)
  • Gambang Suling (Jawa Tengah)
  • Gek Kepriye (Jawa Tengah)
  • Goro-Gorone (Maluku)
  • Gending Sriwijaya (Sumatera Selatan)
  • Gundul Pacul (Jawa Tengah)
  • Helele U Ala De Teang (Nusa Tenggara Barat)
  • Huhatee (Maluku)
  • Ilir-Ilir (Jawa Tengah)
  • Indung-Indung (Kalimantan Timur)
  • Injit-Injit Semut (Jambi)
  • Jali-Jali (Jakarta)
  • Jamuran (Jawa Tengah)
  • Kabile-Bile (Sumatera Selatan)
  • Kalayar (Kalimantan Tengah)
  • Kambanglah Bungo (Sumatera Barat)
  • Kampuang Nan Jauh Di Mato (Sumatera Barat)
  • Ka Parak Tingga (Sumatera Barat)
  • Karatagan Pahlawan (Jawa Barat)
  • Keraban Sape (Jawa Timur)
  • Keroncong Kemayoran (Jakarta)
  • Kicir-Kicir (Jakarta)
  • Kole-Kole (Maluku)
  • Lalan Belek (Bengkulu)
  • Lembah Alas (Aceh)
  • Lisoi (Sumatera Utara)
  • Madekdek Magambiri (Sumatera Utara)
  • Malam Baiko (Sumatera Barat)
  • Mande-Mande (Maluku)
  • Manuk Dadali (Jawa Barat)
  • Ma Rencong (Sulawesi Selatan)
  • Mejangeran (Bali)
  • Mariam Tomong (Sumatera Utara)
  • Moree (Nusa Tenggara Barat)
  • Nasonang Dohita Nadua (Sumatera Utara)
  • O Ina Ni Keke (Sulawesi Utara)
  • Ole Sioh (Maluku)
  • Orlen-Orlen (Nusa Tenggara Barat)
  • O Ulate (Maluku)
  • Pai Mura Rame (Nusa Tenggara Barat)
  • Pakarena (Sulawesi Selatan)
  • Panon Hideung (Jawa Barat)
  • Paris Barantai (Kalimantan Selatan)
  • Peia Tawa-Tawa (Sulawesi Tenggara)
  • Peuyeum Bandung (Jawa Barat)
  • Pileuleuyan (Jawa Barat)
  • Pinang Muda (Jambi)
  • Piso Surit (Aceh)
  • Pitik Tukung (Yogyakarta)
  • Flobamora, Potong Bebek Angsa (Nusa Tenggara Timur)
  • Rambadia (Sumatera Utara)
  • Rang Talu (Sumatera Barat)
  • Rasa Sayang-Sayange (Maluku)
  • Ratu Anom (Bali)
  • Saputangan Bapuncu Ampat (Kalimantan Selatan)
  • Sarinande (Maluku)
  • Selendang Mayang (Jambi)
  • Sengko-Sengko (Sumatera Utara)
  • Siboga Tacinto (Sumatera Utara)
  • Sinanggar Tulo (Sumatera Utara)
  • Sing Sing So (Sumatera Utara)
  • Sinom (Yogyakarta)
  • Si Patokaan (Sulawesi Utara)
  • Sitara Tillo (Sulawesi Utara)
  • Soleram (Riau)
  • Surilang (Jakarta)
  • Suwe Ora Jamu (Yogyakarta)
  • Tanduk Majeng (Jawa Timur)
  • Tanase (Maluku)
  • Tapian Nauli (Sumatera Utara)
  • Tebe Onana (Nusa Tenggara Barat)
  • Te Kate Dipanah (Yogyakarta)
  • Tokecang (Jawa Barat)
  • Tope Gugu (Sulawesi Tengah)
  • Tumpi Wayu (Kalimantan Tengah)
  • Tutu Koda (Nusa Tenggara Barat)
  • Terang Bulan (Jakarta)
  • Yamko Rambe Yamko (Papua)
  • Bapak Pucung (Jawa Tengah)
  • Stasiun Balapan, Didi Kempot (Jawa Tengah)
  • bulu londong, malluya, io-io, ma'pararuk (Sulawesi Barat)

Musik

  • Jakarta: Keroncong Tugu.
  • Maluku :
  • Melayu : Hadrah, Makyong, Ronggeng
  • Minangkabau :
  • Aceh :
  • Makassar : Gandrang Bulo, Sinrilik
  • Pesisir Sibolga/Tapteng : Sikambang

Alat musik

  • Jawa: Gamelan.
  • Nusa Tenggara Timur: Sasando, Gong dan Tambur, Juk Dawan, Gitar Lio.
  • Gendang Bali
  • Gendang Karo
  • Gendang Melayu
  • Gandang Tabuik
  • Sasando
  • Talempong
  • Tifa
  • Saluang
  • Rebana
  • Bende
  • Kenong
  • Keroncong
  • Serunai
  • Jidor
  • Suling Lembang
  • Suling Sunda
  • Dermenan
  • Saron
  • Kecapi
  • Bonang
  • Kendang Jawa
  • Angklung
  • Calung
  • Kulintang
  • Gong Kemada
  • Gong Lambus
  • Rebab
  • Tanggetong
  • Gondang Batak
  • Kecapi, kesok-Kesok Bugis-makassar, dan sebagainya

Sumber: http://cikapahala.blogspot.com/2013/02/macam-macam-kebudayaan-di-indonesia.html#ixzz2TLNCktkt

Senin, 13 Mei 2013

Asimilasi

 
 
 
 
Asimilasi adalah pembauran dua kebudayaan yang disertai dengan hilangnya ciri khas kebudayaan asli sehingga membentuk kebudayaan baru. Proses asimilasi itu ditandai oleh pengembangan sikap-sikap yang sama, yang walaupun terkadang bersifat emosional, bertujuan untuk mencapai kesatuan, atau paling sedikit untuk mencapai integrasi dalam organisasi dan tindakan. Secara matematis proses asimilasi dapat ditulis : Aa + Bb + Cc = Dd yang berarti bahwa kelompok etnik A, B, dan C karena faktor-faktor pendorong asimilasi terpenuhi, mengalami peleburan unsur-unsur kebudayaan kelompok etnik a + b + c menghasilkan kebudayaan baru d, yang sebelumnya tidak ada dalam kebudayaan A, B, maupun D.

Jenis-jenis asimilasi

  1. Asimilasi budaya : proses mengadopsi nilai, kepercayaan, dogma, ideologi bahasa dan sistem simbol dari suatu kelompok etnik atau beragam kelompok bagi terbentuknya sebuah kandungan nilai, kepercayaan, dogma, ideologi bahasa maupun sistem simbol dari kelompok etnik baru.
  2. Asimilasi struktural : proses penetrasi kebudayaan dari suatu kelompok etnik ke dalam ke dalam kebudayaan etnik lain melalui kelompok primer seperti keluarga, teman dekat,DLL
  3. Asimilasi perkawinan, atau sering disebut asimilasi fisik yang terjadi karena perkawinan antar etnik atau antarras untuk melahirkan etnik atau ras baru

Syarat asimilasi

Asimilasi dapat terbentuk apabila terdapat tiga persyaratan berikut.
  • terdapat sejumlah kelompok yang memiliki kebudayaan berbeda.
  • terjadi pergaulan antarindividu atau kelompok secara intensif dan dalam waktu yang relatif lama.
  • Kebudayaan masing-masing kelompok tersebut saling berubah dan menyesuaikan diri.

Faktor pendorong

Faktor-faktor yang mendorong atau mempermudah terjadinya asimilasi adalah sebagai berikut.
  • Toleransi antar kelompok yang berbeda kebudayaan
  • Kesempatan yang seimbang dalam bidang sosial atau ekonomi
  • Sikap menghargai orang asing dan kebudayaan mereka
  • Sikap terbuka dari golongan etnik dominan terhadap kelompok etnik minoritas
  • Persamaan unsur kebudayaan
  • Perkawinan antara kelompok yang berbeda budaya
  • Adanya musuh yang sama

Faktor penghalang

Faktor-faktor umum yang dapat menjadi penghalang terjadinya asimilasi antara lain sebagai berikut.
  • Kelompok yang terisolasi atau terasing (biasanya kelompok minoritas)
  • Kurangnya pengetahuan mengenai kebudayaan baru yang dihadapi
  • Prasangka negatif terhadap pengaruh kebudayaan baru. Kekhawatiran ini dapat diatasi dengan meningkatkan fungsi lembaga-lembaga kemasyarakatan
  • Perasaan bahwa kebudayaan kelompok tertentu lebih tinggi daripada kebudayaan kelompok lain. Kebanggaan berlebihan ini mengakibatkan kelompok yang satu tidak mau mengakui keberadaan kebudayaan kelompok lainnya
  • Perbedaan ciri-ciri fisik, seperti tinggi badan, warna kulit atau rambut
  • Perasaan yang kuat bahwa individu terikat pada kebudayaan kelompok yang bersangkutan
  • Golongan minoritas mengalami gangguan dari kelompok penguasa
Contoh sederhana asimilasi :
A adalah orang Indonesia yang menyukai tarian Bali. Ia berteman baik dengan B yang merupakan orang Amerika Latin dan bisa tarian tradisionalnya Amerika Latin (Tango). Karena keduanya terus menerus berinteraksi, maka terjadilah percampuran budaya yang menghasilkan budaya baru. Maksudnya.. si A akhirnya punya tarian baru yang merupakan hasil penyatuan tarian Bali dan tarian Tango, tetapi tarian barunya ngga mirip sama tarian Bali atau tarian Tango.