Ringkasan :
Indonesia
memiliki keanekaragaman budaya. Budaya-budaya yang tersebar di Indonesia adalah
hasil kecerdasan masyarakatnya, baik itu adat istiadat, bahasa, kepercayaan,
juga tradisi. Tradisi sebagai bagian dari budaya nusantara sudah seharusnya
dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat selaku pemiliknya, termasuk tradisi
lisan (penuturan). Tradisi lisan mengandung banyak nilai positif yang dapat
diterapkan dalam menjalani kehidupan bermasyarakat maupun bernegara. Karena
pada hakikatnya, tradisi lisan hadir di tengah-tengah masyarakat
tradisional yang begitu menjaga dan memilihara Indonesia dari berbagai aspek
kehidupan. Hal ini terkait dengan adanya pesan moral, kepercayaan, norma yang
dipatuhi masyarakat demi keteraturan sistem sosial, serta nilai pendidikan yang
dapat dijumpai di dalam tradisi lisan.
—————
Sebagai
hasil budaya masa lampau yang ikut membentuk peradaban nusantara, eksistensi
tradisi lisan belakangan ini mulai dipertanyakan. Keberadaan tradisi lisan
dewasa ini memberikan saya pemahaman untuk mengkaji lebih lanjut mengenai
pencitraan kuno terhadap tradisi lisan oleh sebagian besar masyarakat modern
Indonesia, juga dalam hal keterbatasan pewarisan tradisi lisan, serta
permasalahan mengenai nilai kebenaran pada tradisi lisan terkait dengan aspek
ilmu pengetahuan. Untuk menjawab persoalan tersebut, ada beberapa gagasan yang
dihadirkan. Diantaranya dengan pengaktualisasian tradisi lisan yang dikemas
dalam seni pertunjukan agat lebih memungkinkan untuk dikonsumsi publik tanpa
meninggalkan nilai-nilai yang tersirat di dalamnya, selain itu juga menciptakan
“formula baru” dengan membuka studi khusus tradisi lisan di perguruan tinggi
maupun menjadikannya sebagai ekstrakulikuler di sekolah, serta menggunakan
tradisi lisan sebagai sumber pengetahuan melalui “pendekatan historis”.
Indonesia
memiliki keanekaragaman budaya. Budaya-budaya yang tersebar di Indonesia adalah
hasil kecerdasan masyarakatnya, baik itu adat istiadat, bahasa, kepercayaan,
juga tradisi. Tradisi sebagai bagian dari budaya nusantara sudah seharusnya
dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat selaku pemiliknya, termasuk tradisi
lisan. Sebelum masyarakat Indonesia mengenal tradisi tulis-menulis yang
menandai dimulainya periodesasi Sejarah Indonesia Kuno, masyarakat Indonesia
telah lebih dulu mengenal tradisi lisan. Masyarakat yang hidup pada masa
tradisi lisan di Indonesia dikenal dengan masyarakat pra-aksara. Masyarakat
tersebut memiliki kecendrungan dekat dengan alam, sehingga mereka berusaha
menyelaraskan pola pikir saat itu dengan lingkungan alamnya. Hal ini
memunculkan korelasi yang erat antara peristiwa alam dengan cerita
turun-temurun yang termuat dalam mitos, legenda, dongeng, maupun folklore
sebagai bagian dari tradisi lisan. Sehingga tradisi lisan dapat dimaknai
sebagai gagasan atau aktivitas yang dilakukan secara berkelanjutan, melalui
proses “penuturan” dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Tradisi
lisan mengandung banyak nilai positif yang dapat diterapkan dalam menjalani
kehidupan bermasyarakat ataupun bernegara. Karena pada hakikatnya, tradisi
lisan hadir di tengah-tengah masyarakat tradisional yang begitu menjaga
dan memilihara Indonesia dari berbagai aspek kehidupan. Hal ini terkait dengan
adanya pesan moral, kepercayaan, norma yang dipatuhi masyarakat demi
keteraturan sistem sosial, serta nilai pendidikan yang dapat dijumpai di dalam
tradisi lisan. Namun dalam perkembangannya, eksistensi tradisi lisan belakangan
ini mulai dipertanyakan. Sebagai hasil budaya masa lampau yang ikut membentuk
peradaban nusantara sekaligus menjadi identitas Indonesia, terabainya tradisi
lisan sudah sepantasnya menjadi kekhawatiran bersama. Keberadaan tradisi lisan
dewasa ini memberikan saya pemahaman untuk mengkaji lebih lanjut mengenai
pencitraan kuno terhadap tradisi lisan oleh sebagian besar masyarakat modern
Indonesia, juga dalam hal keterbatasan pewarisan tradisi lisan, serta
permasalahan mengenai nilai kebenaran pada tradisi lisan terkait dengan aspek
ilmu pengetahuan.
Iklim
globalisasi masuk ke Indonesia membawa pengaruh besar bagi terciptanya
masyarakat modern Indonesia. Hal ini turut mempengaruhi perkembangan cara
berpikir masyarakat. Lambat laun masyarakat tradisional mulai bertransformasi
menjadi masyarakat modern. Dimana segala sesuatu yang dilakukan masyarakat
modern Indonesia mulai mengikuti pola kebudayaan barat. Misalnya menjaring ikan
menggunakan pukat harimau, cara hidup berbasis teknologi ini lebih
mengedepankan nilai keefektivitasan serta keefisiensian, tanpa menimbang dampak
jangka panjang bagi lingkungan hidup. Perilaku masyarakat modern tersebut
menjadi salah satu penyebab menurunnya kesadaran akan identitas masyarakat
Indonesia, dimana masyarakat modern mulai meninggalkan budaya lokal pesisir
yang menggunakan syair lagu untuk memanggil ikan tangkapan. Menurunnya
kesadaran identitas yang dimaksud, berupa cara berpikir dan berperilaku
layaknya orang Indonesia yang senantiasa menjaga serta memelihara budaya lokal
demi keselarasan masyarakat dengan lingkungan alamnya, seperti yang tersirat
dalam tradisi lisan. Dewasa ini, sebagian besar masyarakat Indonesia mulai
berpikir bahwa budaya lokal merupakan budaya yang tidak mengikuti perkembangan
zaman. Oleh karena itu, tradisi lisan mulai ditinggalkan sehingga budaya
lokal yang satu ini terancam hilang dari peradaban nusantara.
Namun,
anggapan yang menilai tradisi lisan tidak mampu bergerak secara dinamis merupakan
suatu kebohongan besar, mengingat hakikat tradisi adalah mengalami perkembangan
yang disesuaikan dengan jiwa zaman masyarakatnya. Bukan tidak mungkin tradisi
lisan yang terkesan kuno tersebut dikemas dengan lebih aktual mengikuti jiwa
zaman saat ini. Cerita rakyat, upacara, pantun, tarian rakyat, mantra, serta
nyanyian rakyat dapat dikombinasikan dan kemudian dikemas dalam seni
pertunjukan lokal secara berkala. Aktualisasi tradisi lisan yang dikemas dalam
sebuah pertunjukan lebih memungkinkan untuk dikonsumsi publik tanpa
meninggalkan nilai-nilai yang tersirat di dalamnya. Terkhusus lagi, dapat
membuka ruang antusias yang tinggi terhadap tradisi lisan dikalangan generasi
muda Indonesia. Sehingga kegiatan ini dapat menghidupakan kembali “penuturan”
yang dilakukan secara turun-temurun di tengah masyarakat modern Indonesia.
Seiring
dengan pengaktualisasian tradisi lisan dalam rangka menyelamatkan produk budaya
masa lampau, masalah lain yang muncul terkait dengan eksistensi tradisi lisan
adalah belum tersedianya generasi yang siap berkomitmen melestarikan tradisi
lisan, pasca dikenalnya aksara yang mendukung terciptanya tradisi
tulis-menulis. Berkembangnya tradisi tulis-menulis sejak ditemukannya prasasti
di Kerajaan Kutai sekitar abad ke-4 Masehi, ternyata membawa pengaruh besar
bagi keberlangsungan tradisi lisan. Hingga sekarang, disiplin ilmu yang
berkembang di Indonesia cendrung mengandalkan sumber tertulis daripada
menggunakan tradisi lisan sebagai sumber pengetahuan. Oleh karena itu, perlu
adanya “formula baru” untuk menghasilkan sumber daya manusia yang dibekali
dengan kemampuan khusus mempelajari tradisi lisan, sekaligus sebagai upaya
mempersiapkan generasi pelopor pelestarian tradisi lisan. “Formula baru”
tersebut dapat diwujudkan dengan mengikutsertakan tradisi lisan ke dalam
lingkungan pendidikan, baik itu membuka studi khusus tradisi lisan di perguruan
tinggi maupun menjadikannya sebagai ekstrakulikuler di sekolah. Dengan begitu,
tradisi lisan mulai dikenal di dunia akademis, sehingga keberadaan tradisi
lisan bisa lebih diperkuat dengan mendapatkan perhatian khusus dari kalangan
akademisi.
Terakit
displin ilmu di Indonesia yang cendrung menggunakan sumber tertulis, hal ini
memunculkan polemik tersendiri bagi posisi tradisi lisan yang juga sebagai sumber
pengetahuan. Kondisi tersebut tidak dapat dilepaskan dari adanya keraguan
terhadap kebenaran informasi yang terkandung dalam tradisi “penuturan” ini.
Tradisi lisan berupa dongeng, hikayat, mantra, dan legenda lebih didominasi
unsur “fantasi” dalam cerita, sehingga tidak mudah membedakan antara fakta dan
fiksi yang sebenarnya. Pada hakikatnya, masyarakat pra-aksara belum mampu
mendefinisikan suatu peristiwa berdasarkan kajian ilmu pengetahuan. Sehingga
cerita-cerita yang berkembang melalui “penuturan” senantiasa disesuaikan dengan
kemampuan berpikir, kebutuhan, dan kondisi masyarakat saat itu. Masyarakat
pra-aksara berusaha menyalurkan norma, nilai, hukum, kebiasaan, dan pengetahuan
yang berkembang saat itu melalui “penuturan” secara turun-temurun. Hal ini
didasari pada tingkat pengalaman dan pemahaman yang mereka dapati. Oleh karena
itu tidak sedikit ilmuwan berpendapat, bahwa tradisi lisan telah mengalami
proses pewarisan dalam waktu yang panjang sehingga tradisi lisan dimungkinkan
mengalami distorsi. Alhasil, nilai kebenaran dalam tradisi lisan lantas
dipertanyakan.
Melalui kaca
mata yang berbeda, saya mencoba untuk membalikan kenyataan. Kenapa tidak
tradisi lisan digunakan sebagai sumber pengetahuan, jika kita mampu menjadikan
ritual Hamis Batar (tradisi lisan masyarakat Timor berupa upacara
syukuran terhadap jagung yang dipanen) di Kupang sebagai media untuk memperoleh
pengetahuan yang mendekati nilai kebenaran, seperti mengkaji kepercayaan
masyarakat setempat terhadap kekuatan di luar diri manusia, tentang fungsi
tetua adat sebagai bagian dari sistem sosial yang mengambil peran dalam ritual Hamis
Batar, juga kebiasaan masyarakat mempersiapkan jagung yang memiliki
kualitas terbaik dari hasil panen untuk diikutsertakan dalam upacara adat,
serta eksistensi nilai dan norma yang ikut diwariskan secara turun-temurun
melalui ritual Hamis Batar. Dengan melakukan “pendekatan historis” untuk
mendapatkan pengetahuan dari tradisi lisan, kita bisa menemukan pondasi
kebudayaan Indonesia, sekaligus dapat digunakan untuk memantapkan identitas
kebudayaan nusantara dalam rangka menjawab tantangan zaman.
Tradisi
“penuturan” merupakan akar dari budaya yang berkembang di nusantara. Hal ini
dapat diasumsikan melalui masyarakat pra-aksara yang menggunakan tradisi lisan
untuk menyalurkan cara berpikir dan cara hidup antar sesama manusia, termasuk
aktivitas yang berhubungan dengan alam dan sang pencipta. Sehingga, hadirnya
tradisi lisan ternyata ikut mendukung lahirnya adat istiadat, kebiasaan, hukum,
kepercayaan, maupun bahasa yang berkembang di wilayah-wilayah Indonesia.
Seiring dengan perkembanan zaman, tradisi lisan mulai ditinggalkan karena
pencitraannya yang kuno dan statis sebagai hasil budaya masa lampau. Hal ini
tidak terlepas dari tradisi tulis-menulis yang mulai dikenal, serta adanya
pengaruh globalisasi yang serta-merta ikut merubah cara berpikir masyarakat
Indonesia. Sehubungan dengan upaya penyelamatan dan pelestarian terhadap akar
budaya nusantara, maka diperlukan usaha-usaha membangkitkan ketertarikan
kembali terhadap tradisi “penuturan” ini. Usaha-usaha tersebut diantaranya,
melakukan aktualisasi tradisi lisan yang dikemas dalam seni pertunjukan,
mengikutsertakan tradisi lisan dalam dunia akademis sebagai upaya pengenalan
sekaligus melahirkan generasi pewaris tradisi “penuturan”, serta menjadikan
tradisi lisan sebagai sumber pengetahuan yang dapat dikaji melalui metode
ilmiah dan pendekatan displin ilmu sosial, seperti pendekatan historis.
Diharapkan tradisi lisan dapat diselamatkan dan dilestarikan keberadaannya ditengah-tengah
iklim globalisasi. Sehingga, masyarakat Indonesia memiliki identitas kebudayaan
yang kuat agar dapat digunakan sebagai pedoman dalam rangka menyikapi
budaya-budaya asing yang masuk ke Indonesia.